Kehidupanku
di Tebuireng?
Hmm
sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang amat panjang. Berhubung ada
yang request bolehlah aku ceritakan.
Nah, semua bermula ketika aku
mendapat permintaan untuk menjadi Pembina di Pondok Putri Pesantren Tebuireng.
Kala itu ( jaman masih unyu – unyu diriku dan masih demikian hingga kini, he)
aku berpikir selain aku akan bisa berproses menjadi manusia yang anfa’uhum
linnas (bermanfaat bagi manusia lain), menjadi Pembina juga nantinya akan
terhitung menjadi pengabdian sebagai syarat pengambilan ijazah Mahad Aly Hasyim
Asy’ari.
Nah,
sempat agak ruwet juga waktu itu karena tak ada pemberitahuan resmi dari Pondok
Putri Pesantren Tebuireng tapi ternyata namaku sudah terpampang di salah satu
kamar di sana sebagai Pembina. Pada waktu yang bersamaan aku sudah terlanjur
bayar cash kursus Bahasa Inggris beserta Camp nya di Pare karena
memang saat itu aku berencana mengisi libur kuliahku di sana. Sudah keadaan
seperti itu barulah salah seorang dari pihak Pondok menginformasikannya padaku.
Rempong dah pokoknya, lemahnya koordinasi ini sempat membuatku ragu
namun setelah melalui berbagai proses serta dengan pertimbangan antara mashlahah
dan madhorotnya akhirnya aku putuskan untuk memilih Tebuireng.
Beruntung kursus dan camp bisa dibatalkan dan uang kembali seratus
persen. Alhamdulillah.
Singkat
kata jadilah tahun 2010 aku resmi tinggal Pondok Pesantren rintisan KH. Hasyim
Asy’ari ini. Lalu sebuah babak kehidupan yang baru dimulai. Menjadi Pembina itu
gampang – gampang susah. Kalau cuma sekedar mendengar pemaparan tugas pembina
sepertinya biasa saja tapi ketika dijalani jauh lebih berat. Harus siap mental,
istiqomah, dan menjadi uswatul hasanah bagi anak – anak asuh di kamar.
Hal itu kalau dalam keadaan biasa. Kita juga harus siap menghadapi permasalahan
seputar santri, wali santri, sekolah atau pihak – pihak lain terkait santri dan
pesantren. Sungguh pelajaran yang luar biasa.
Panggilan
yang disematkan untuk pembina memang Ustadzah namun pada hakikatnya perannya
tak hanya sebatas guru, Ia juga menjadi Ibu, teman dan pengawas. Pertama dapat
panggilan Ustadzah itu rasanya aneh. Karena selama ini tak pernah
terbayang untuk berada di posisi tersebut. Apalagi sampai tanganku
dicium oleh anak – anak di sini sebagai tanda hormat. Terbesit keinginan pun
tidak. Karena belum terlalu mengerti harus bagaimana menjadi Pembina yang baik
maka untuk tahap awal aku hanya menjalankan tugas pokoknya yaitu mengkoordinir
jamaah dan ngaji sambil mengenal anak – anak kamar lebih dekat. Dan ternyata
cukup menyenangkan juga. Dapat menambah saudara baru dengan senyum polos
menghiasi wajah mereka membuat hati teduh. Juga anak – anak kamar F wisma
Khoiriyah ini menurut dan mendengar apa – apa yang aku katakan. Seperti
mendapat adik – adik baru berjumlah 36 dalam satu waktu sekaligus, he.
Tantangan
pertama yang aku hadapi adalah menangani permasalahan seputar santri baru. Ada
juga anak yang terlihat suka senyum ceria ternyata rentan sekali sakit hati. Sekalinya
sakit hati sampai susah bernafas, kejang. Wah, wah ternyata perlu jadi ahli
terapi juga buat menenangkan, he. Lalu ada lagi ank – anak SMP di kamar yang
masih manja dan suka menangis (kebetulan kamarku campur antara 1 SMA/MA dan 1
SMP karena keterbatasan tempat), memposisikan diri sebagai Ibu sangat penting
agar mereka merasa aman, terlindungi dan nyaman dalam belajar nantinya. Jadi
aku pun juga harus berproses dari aku yang baru kemarin lulus Aliyah dan
berjiwa muda (masih 19 tahun) berusaha menjadi pribadi yang terbaik untuk
mereka. Dan sejak itu dunia dan pikiranku hanya seputar santri – santri
pesantren khususnya anak – anak yang menjadi anak binaanku.
Secara
garis besar hal – hal mendasar sudah bisa dihandle mereka sendiri seperti cara membersihkan kamar mandi,
mengepel, menata sprei, dsb. Juga organisasi kamar berjalan cukup baik dengan
ketua kamar (di tahun pertama dijabat oleh Muyassarotul Qoimah ) yang membantu
Pembina dalam mengkoordinir teman – temannya. Sebenarnya yang sangat berat
adalah tugas kita menemani proses kedewasaan. Problematika sangatlah banyak.
Terlebih di tahun ketiga mereka. Tak disangka mereka lihai sekali
menyembunyikan hal – hal tak terduga. Inilah pelajaran bagiku yang sempat
lengah mengawasi mereka secara terperinci satu per satu.
Tersebutlah
santri bernama Naim (nama samaran) di kamarku. Seorang anak yatim dan putri
satu – satunya dari Ibunya. Dari latar belakang seperti itu aku sering berhusnudzon
padanya. Ketika kelas dua SMA dia sering dijemput oleh seseorang yang
diakui sebagai Ibu angkatnya. Awalnya aku tak curiga karena ketika aku
mengkonfirmasi ke Ibunya, beliau mengiyakan dan menambahkan bahwa ia adalah
saudara jauh. Semua mulai terkuak ketika memasuki tahun ketiga saat ia meminta
izin pulang ke rumah Ibu angkatnya tiga hari untuk periksa dan copot gigi.
Namun hingga seminggu hampir berlalu Naim tak kunjung kembali ke pondok
sementara menurut teman – teman sekolahnya Ia tetap masuk sekolah seperti
biasa.
Walhasil
aku sebagai Pembina sekaligus sebagai Koordinator Keamanan kala itu
mengkonfirmasi ke sekolah. Bersama dengan Guru BP SMA, Bu Wening dan Pak
Mustaqim kami membujuk Naim untuk kembali ke Pondok. Cukup alot dan berbelit –
belit karena Naim bersikeras tak ingin kembali. Masih jelas sekali di ingatanku
bagaimana Naim menangis meraung – raung di kantor SMA. Hingga kami putuskan
untuk memanggil Ibu angkatnya ke sekolah saat itu juga.
Ibu
angkat Naim memohon agar Naim diperkenankan kembali ke rumahnya dan berjanji
akan mengantarnya kembali ke Pondok besok. Namun kami (Bu Wening, Pak Mustaqim,
aku dan Iit - salah seorang Pembina di Pondok Putri juga) bersikeras Naim harus
kembali hari ini juga karena kami menemukan ternyata alasan sakit gigi dari
Naim mengada – mengada dan ditemukan sms yang mengindikasikan hubungan dengan
lawan jenis di Handphonenya. Bu Wening sebagai alumni dari jurusan Psikolog
berhasil mengorek keterangan dari Ibu angkat Naim yang ternyata sama tak
memiliki hubungan darah apapun dengan Naim (salut buat Bu Wening). Dengan
demikian Ibu ini kemudian tidak berhak menjadi wali Naim dan diharuskan
menandatangani perjanjian untuk tidak bertemu dengan Naim lagi. Dan akhirnya
Naim berhasil kami bawa pulang ke Pondok.
Sakit
hati? Tak bisa ditampik lagi perasaan seperti itu. Anak binaan rasanya seperti
anak sendiri karena posisi kami sebagai Ibu bagi mereka. Dan mendapati
kebohongan seperti itu tentunya tak terperi rasanya. Di sisi lain Ibu kandung
Naim ternyata selama ini cenderung menutupi kesalahan Naim, sungguh miris rasanya.
Ada lagi kebohongan yang terungkap ketika aku berada di sekolah kemarin.
Sebelumnya,
beberapa waktu sebelum kejadian ini Om Naim datang ke Pondok sebagai wali Naim
untuk mendatangani Surat Pernyataan Terakhir sebab beberapa pelanggaran berat
yang telah dilakukan Naim (sepertinya tak perlu aku ceritakan di sini bentuk
pelanggarannya). Ia mengaku merupakan adik kandung dari Ibu Naim dan telah
diberi tanggung jawab atas Naim selama di Jombang. Hari itu no HP dari Ibu Naim
tak ada yang bisa dihubungi (no nya ganti – ganti), jadi aku belum bisa jua mengecek kebenarannya bahkan sampai
terlupa. Nah, ketika berbincang di kantor SMA dengan Bu Wening ternyata Omnya
ini juga pernah bertandang ke Sekolah dengan pengakuan yang sama. Namun Bu
Wening dengan jiwa Psikolognya merasakan hal yang tak wajar dengan Om Naim,
demikian yang diceritakan Bu Wening padaku.
Dan
benarlah kecurigaan Bu Wening terbukti sekitar 1 atau 2 bulan berikutnya. Om
Naim datang kembali ke sekolah dan mengaku mereka berdua sebenarnya adalah
tunangan yang nantinya akan segera menikah setelah Naim lulus sekolah. Ya
Ampun,,, aku shock berat mengetahui ini. Gemetaran aku dibuatnya. Benar – benar
tak menyangka, terima kasih pada Bu Wening yang membukakan mataku.
Dan
selanjutnya lebih banyak hal – hal mengejutkan dan membuat hati miris yang baru
aku ketahui tentang Naim. Tak habis – habis jika harus aku tulis seluruhnya di
sini. Yang jelas aku berusaha mempertahankan Naim dengan memberi perhatian
ekstra padanya. Mengingatkan jangan sampai ia salah langkah lagi. Namun
ternyata Naim tak ingin dipertahankan, ia melanggar lagi peraturan yang fatal
hingga akhirnya ia harus dikirim pulang sebelum sempat menyelesaikan studinya
di bangku SMA.
Satu
lagi pelajaran sebagai Pembina yang aku temukan di sini, yakni memperhatikan
perubahan kecil yang terjadi pada anak asuhan sangatlah penting hingga hal –
hal yang tidak diharapkan takkan lebih jauh terjadi. Yah, aku akui kesibukanku
sebagai koordinator keamanaan di Pesantren serta tugas kuliah menumpuk
melengahkanku. Dan ini juga pastinya menjadi suatu tantangan bagi Pembina
karena jumlah anak kamar yang tak sedikit.
Masih
banyak lagi kisah dan pengalamanku di Tebuireng. Terima kasih pada Tebuireng
akan semua pelajaran kehidupan ini. Sebuah pelajaran yang akan menjadi mutiara
dalam hidupku di masa depan. Terima kasih pula telah mempertemukan aku dengan
sebuah keluarga yang baru di sini. Teruntuk anak – anak asuhanku, I will
always loving you. ^_^
For
anak – anak kamar C dan F Pondok Putri Pesantren Tebuireng angkatan 2010 - 2013
dan anak - anak kamar D angkatan 2013 - 2014