Rss Feed

Ainun Qolby


Al Hikam ( Ibnu Athoilah )

ثم قال ( الحق ) تعالى ( ليس بمحجوب ) أي ليس حجاب وصفاله سبحاله ( وإنما المحجوب ) أي متصف بالحجاب ( أنت ) بصفاتك النفسانية ( عن النظرائية ) فان اردت الوصول إليه والدخول في حضرته فابحث عن عيوب نفسك وعالجها تصل إليه وتشاهده ببصيرتك ثم استدلّ على نفي الحجاب عن الرب.
        
Allah Ta’ala, dzat yang tetap sifat kesempurnaannya.  Ketika Allah memiliki sifat Ar Rahman, Ar Rahiim, al Hakiim dll ( dalam Asmaul Husna ), sifat tersebut tidak akan berubah. Berbeda dengan manusia ( makhluk ) seiring berjalannya waktu sifat yang dimiliki manusia bisa berubah. Seseorang yang kurus bisa berubah menjadi gendut.  Begitupun sifat seseorang yang asalnya kalem, halus tutur kata bisa saja berubah dalam hitungan detik sebab dipukul misalnya.
            Tak ada yang menutup sifat Allah. Sementara sifat manusia bisa tertutup oleh nafsu. Tetapi ainun qolbi  ( mata hati ) jika diberi kesempatan oleh Allah untuk melihat yang lain ( makrifat ). Setiap mata hati hakikatnya bisa melihat orang lain namun sebagian besar hati manusia tertutup oleh nafsu.
            Dikisahkan ada seorang kyai yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi pada orang lain dan memang benar – benar terjadi. Sampai suatu ketika kyai ini bermimpi disuruh uzlah berguru pada waliyullah di negeri seberang. Maka berangkatlah sang kyai dan bertemu dengan waliyullah. Ketika berhadapan langsung kyai tersebut melihat tulisan An Naar ( neraka ) di dahi waliyullah. Sang Kyai tertegun, bagaimana bisa waliyullah tertulis neraka di dahinya.
            Selidik punya selidik setiap waliyullah sering keluar berjalan – berjalan. Maka kyai pun mengikutinya dan didapati waliyullah masuk ke warung yang sangat ramai. Waliyullah bukan tak  mengetahui ia dibuntuti bahkan waliyullah memanggil dan mengajak Kyai makan bersama. Setelah itu Waliyullah berjalan kembali tak urung Sang Kyai kembali membuntutinya hingga sampailah pada sebuah sungai. Disitulah kemudian Waliyullah bukannya berenang tapi berjalan di atas sungai.
            Selanjutnya Waliyullah memanggil sang kyai mendekat. Kyai pun berenang mendekati waliyullah. Waliyullah pun berujar, “ Apapun yang kau lihat belum tentu benar, maka lihatlah dan mintalah petunjuk kepada Allah “. Jika engkau dikaruniai ngerti  oleh Allah maka kamu tidak diperbolehkan untuk menyampaikan apa yang dilihat. Tapi diharuskan melihat dengan nur Allah tetaplah untuk meminta petunjuk Allah. Karena ilmu Allah tidak ada penutup sedangkan ilmu manusia bisa tertutup nafsu.
            Meskipun kamu pergi ke seberang lautan untuk uzlah di tempat yang jauh jika hatimu tidak ditata maka takkan bisa tercapai maksudmu. Nafsu adalah keinginan – keinginanmu yang tidak sesuai. Semakin tebal keinginanmu tersebut semakin tebal penghalangmu dengan Allah. Jika hatimu ingin wushul (sampai) kepada Allah maka kamu harus mencari ampun pada Allah atas segala kesalahan. Mengingat – ingat apa yang menjadi kesalahan dan kecacatan pada dirinya dalam upaya menjaga nafsu.
            Beristigfar setiap terasa ada sifat sombong, iri. Juga memohon ampun karena telah menyia – nyiakan waktu. Bahkan ikan – ikan pun membaca istighfar. Menangislah karena Allah yang menjadi jalan untuk segala permasalahanmu. Ketika kamu bisa wushul maka itu akan menjadi jalan menjadi kekasih Allah. Dan dari situlah kamu dapat mlihat dengan mata hati.
            Alkisah Kyai tadi tidak mau memberi tahu apa – apa yang dilihatnya lagi. Tampaknya Kyai tak ingin lagi tertipu oleh nafsu. Ketika ditanya oleh seseorang tentang keberatan kyai menyampaikan lagi apa yang diketahuinya kini, Kyai menjawab, “aku takut pada Allah, karena apa yang belum terjadi adalah hak Allah. Bukan hakmu ataupun hakku. Apa yang menjadi hakmu adalah apa yang terjadi sekarang, maka kamu tidak boleh mengetahui apa yang belum terjadi karena itu adalah hak Allah. Maka kamu harus bisa menemukan hatimu kepada Allah. Menempatkan dirimu di hadapan Allah melalui penglihatan hatimu.”
                 
Yogyakarta, 26082014
Pondok Pesantren Darul Ulum wal Hikam (DAWAM)
Pengajian dibawah asuhan Kyai Sugeng Utomo


NB : apabila terdapat kesalahan dan kekurangan semata - mata berasal dari Penulis

Kawan Baru, Cerita Baru

Mari Cekikikan Bersama

Sudah sebelas hariku bergulir di Jogja. Di sini aku berkumpul dengan orang – orang serumpun. Tahu kan maksud serumpun? Jadi aku berkumpul kembali dengan etnik asalku yakni Jawa Tengah. Terlebih lagi di tempat aku tinggal ini sebagian besar dihuni orang dari Jawa Tengah daerah utara seperti Semarang, Demak, Jepara, Blora dan tak ketinggalan tanah kelahiranku Rembang.
Lucunya dengan kembalinya aku pada komunitas Jawa Tengah ini ternyata mereka menemukan banyak logat dan bahasa jawa yang berbeda. Hehe, nampaknya hidup delapan tahun di Jawa Timur membawa pengaruh linguistik yang tidak aku sadari. Pertama dari kebiasaanku memanggil laki – laki muda baik kenal maupun tak dikenal dengan sebutan “cak”, di sini tentu saja panggilan tersebut sangatlah tidak lazim. Lumrahnya memanggil dengan sebutan “mas”, sedang untuk dalam lingkungan Pesantren Jawa Tengah lebih sering menggunakan “Kang”.
Ada lagi yang membuatku tampak lucu di depan teman – teman baruku ini. Istilah “mari” dalam bahasa Jawa Timur bisa memiliki tiga arti yaitu sembuh, ajakan, selesai. Jadi dalam proses antri mengantri khas Pesantren aku terbiasa menggunakan kata “mari” seperti ini contohnya : “mari peyan sopo mbak?” ( Setelah kamu siapa mbak? ). Nah, yang aku ajak bicara selalu loading (istilah anak muda ketika sesuatu membutuhkan waktu agak lama) dahulu dan balik bertanya, “mari ?” dengan dahi berkerut. Kontan saja dia langsung tertawa cekikan ketika aku menjelaskan maknanya.
Selain itu juga penggunakan kata “arek – arek”  untuk penyebutan orang – orang muda sebagai sudut pandang orang ketiga. Kosa kata yang selalu mengundang senyum jika aku pergunakan di sini karena lazimnya memakai kata “bocah – bocah”. Aku jadi teringat saat pertama kali aku hidup di Jawa Timur. Kala itu aku sering merasa aneh dan lucu terhadap bahasa dan budaya mereka. Namun ternyata lambat laun tanpa aku sadari aku turut berbaur dan menjadi produk cetakan Jawa Timur.

Kini dengan logat dan kekhasanku yang mengundang senyum aku justru lebih mudah bergaul dengan teman – teman baruku. Karena keakraban yang pertama tercipta tanpa disadari lewat senyum dan tertawa cekikikan bersama, Hihihi. Cerita dan pengalaman yang diceritakan pun akan semakin bervariasi. Selamat Berteman ^_^.

Yogyakarta, 28 Agustus 2014
Nadine_Husein

Santri Kudu Duwe Pulpen

Ta’limul Muta’alim ( Syaikh Az-Zarnuji)
وأنشدت للشيخ أبي الفتح البستي رحمه الله تعالى
 ذو العقل لايسلم من جاهل # يسومه ظلما واعناتا
 فليختر السلم على حربه # وليلزم الانصات ان صاتا
      Disebutkan dalam Syiir Syekh Umaed Abil Fathi, “Orang yang sempurna akalnya lumrahnya tidak selamat dari kedzoliman orang – orang bodoh maka ketika kamu menjadi orang yang sempurna akalnya kamu harus memilih selamat dengan diam.”
            Orang yang bodoh ( tidak mengetahui kebenaran ) mempunyai sifat selalu ingin menang dan merasa pintar. Dan orang yang bodoh berada di mana saja. Jika sebelumnya disampaikan dalam kitab Ta’limul Muta’alim bahwa kamu, saya atau siapapun harus selamat dari tipu dayanya orang – orang yang memusuhi kita. Jika ada orang yang emosi janganlah kita membalas ataupun membantah. Hal ini kemudian diperjelas oleh Syekh Umaed bahwa Orang yang cerdas ( sempurna akal – ذو العقل) selalu dihadapkan keadaan yang apes ( tidak selamat ). Dalam keadaan tersebut Beliau menghimbau akal orang cerdas untuk memilih selamat dengan tak perlu membalas ( diam ).
            Ibarat ketika kamu diskusi dengan temanmu yang bodoh ( tidak mengetahui kebenaran ) membahas bensin yang kini sedang langka. Jika kamu membahas sesuatu pada orang yang tak tahu dapat dipastikan ia akan ngeyel ( ngotot merasa benar ). Sementara kamu mengerti penyebab kelangkaan bensin berdasarkan sebuah analisa dan dasar maka ketika kamu berdiskusi dengan temanmu hanya akan ada pembicaraan, “ Ini semua hanya karena si A menjadi Presiden. Beginilah jika Negara Hastina dikuasai oleh Petruk.” Sekalipun kamu mengetahui keadaan yang sebenarnya berdasarkan analisa namun kamu akan seperti didzolimi jika kamu membantah. Orang bodoh akan menetapkan dirinya benar bahkan mengejekmu sebagai orang bodoh. Debat dengan orang bodoh adalah debat yang tak berguna. Maka hendaknya orang cerdas memilih selamat dengan diam.
( فصل في الإستفادة ) وينبغي أن يكون طالب العلم مستفيدا في كل وقت حتى يحصل له الفضل وطريق الإستفادة أن يكون معه في كل وقت محبرة حتى يكتب ما يسمع من الفوائد العلمية قيل من حفظ فرّ ومن كتب شيأ قرّ.
         Fashl - Manfaaat ilmu. Orang yang mencari ilmu setiap waktu bisa mendapatkan keuntungan. Tholibul Ilmi ( Orang yang mencari ilmu ) yang tidak mendapatkan manfaat maka niatnya perlu ditata kembali. Jika niatmu benar maka kamu akan mendapat Nur dari Allah sebab mencari ilmu. Derajatmu akan ditingkatkan oleh Allah tanpa kamu sadari. Semisal bandingkan wajah orang yang mengaji (mencari ilmu) dengan orang yang tak pernah mengaji tentu berbeda. Juga sikap orang – orang terhadapmu sebelum dan sesudah mencari ilmu tak akan sama.
            Supaya kamu mendapat kemanfaat ilmu tersebut maka hendaklah Tholibul Ilmi selalu membawa pulpen (tinta). Agar segala sesuatu yang disampaikan gurunya dapat ditulis. Orang yang memiliki ilmu hidupnya tidaklah susah karena Allah yang memudahkan, dan ini merupakan faedah (manfaat) ilmu. Dengan satu titik pulpen akan menjadi suatu pemikiran. Jika dikorelasikan pada jaman yang serba canggih ini tentu tidak hanya sebatas pada pulpen. Tulisan yang ada bisa dipublikasikan via website atau blog agar tersimpan di sana dalam jangka panjang. Dan dari ilmu - ilmu yang diperoleh dari menulis kemudian dapat dibukukan agar dapat dibaca oleh khalayak banyak.
            Orang yang hafal akan suatu ilmu maka ia akan ahli dengan ilmu tersebut. Sehingga ia akan melakukan sesuatu dengan ilmu yang dihafal tersebut tanpa memakan waktu yang lama. semisal seorang yang memiliki ilmu merakit komputer di luar kepala ( hafal ) tentu akan membutuhkan waktu yang lebih sedikit dalam menjalankan hal tersebut dari pada orang yang tidak memilikinya. Kemudian dijelaskan orang yang menulis apa yang di dengar maka ilmunya akan tetap. Ilmu tersebut akan tetap teringat karena kamu tulis. Tulisan menjadi pengingat ketika lupa.
            Ada sebuah cerita sang Kyai yang memberi suatu ilmu pada muridnya dengan mendengarkan sebanyak tiga kali namun tidak boleh ditulis. Nah, ini yang menyebabkan ilmu tersebut hilang tapi jika sanggup hafal benar – benar menjadi sakti. Ilmu – ilmu semacam itu sekarang disebut santet namun dahulu ilmu tersebut hanya dipergunakan untuk melawan penjajah. Karena tidak diperkenankan untuk menulis maka sang santri yang mendapat ilmu tersebut kini lupa dan tak bisa mengingat lagi.
            Demikianlah jika ingin menjadi ahli dan mahir dengan ilmunya maka ia harus hafal. Dan ia haruslah menulis sebagai pengikat dari hapalan yang bisa saja terlupa.

Yogyakarta, 26082014
Pondok Pesantren Darul Ulum wal Hikam (DAWAM)
Pengajian dibawah asuhan Kyai Sugeng Utomo


NB : apabila terdapat kesalahan dan kekurangan semata berasal dari Penulis  

Mutiara Tebuireng









Kehidupanku di Tebuireng?
Hmm sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang amat panjang. Berhubung ada yang request bolehlah aku ceritakan.
            Nah, semua bermula ketika aku mendapat permintaan untuk menjadi Pembina di Pondok Putri Pesantren Tebuireng. Kala itu ( jaman masih unyu – unyu diriku dan masih demikian hingga kini, he) aku berpikir selain aku akan bisa berproses menjadi manusia yang anfa’uhum linnas (bermanfaat bagi manusia lain), menjadi Pembina juga nantinya akan terhitung menjadi pengabdian sebagai syarat pengambilan ijazah Mahad Aly Hasyim Asy’ari[1].
Nah, sempat agak ruwet juga waktu itu karena tak ada pemberitahuan resmi dari Pondok Putri Pesantren Tebuireng tapi ternyata namaku sudah terpampang di salah satu kamar di sana sebagai Pembina. Pada waktu yang bersamaan aku sudah terlanjur bayar cash kursus Bahasa Inggris beserta Camp nya di Pare karena memang saat itu aku berencana mengisi libur kuliahku di sana. Sudah keadaan seperti itu barulah salah seorang dari pihak Pondok menginformasikannya padaku. Rempong dah pokoknya, lemahnya koordinasi ini sempat membuatku ragu namun setelah melalui berbagai proses serta dengan pertimbangan antara mashlahah dan madhorotnya akhirnya aku putuskan untuk memilih Tebuireng. Beruntung kursus dan camp bisa dibatalkan dan uang kembali seratus persen. Alhamdulillah.
Singkat kata jadilah tahun 2010 aku resmi tinggal Pondok Pesantren rintisan KH. Hasyim Asy’ari ini. Lalu sebuah babak kehidupan yang baru dimulai. Menjadi Pembina itu gampang – gampang susah. Kalau cuma sekedar mendengar pemaparan tugas pembina sepertinya biasa saja tapi ketika dijalani jauh lebih berat. Harus siap mental, istiqomah, dan menjadi uswatul hasanah bagi anak – anak asuh di kamar. Hal itu kalau dalam keadaan biasa. Kita juga harus siap menghadapi permasalahan seputar santri, wali santri, sekolah atau pihak – pihak lain terkait santri dan pesantren. Sungguh pelajaran yang luar biasa.
Panggilan yang disematkan untuk pembina memang Ustadzah namun pada hakikatnya perannya tak hanya sebatas guru, Ia juga menjadi Ibu, teman dan pengawas. Pertama dapat panggilan Ustadzah itu rasanya aneh. Karena selama ini tak pernah terbayang untuk berada di posisi tersebut. Apalagi sampai tanganku dicium oleh anak – anak di sini sebagai tanda hormat. Terbesit keinginan pun tidak. Karena belum terlalu mengerti harus bagaimana menjadi Pembina yang baik maka untuk tahap awal aku hanya menjalankan tugas pokoknya yaitu mengkoordinir jamaah dan ngaji sambil mengenal anak – anak kamar lebih dekat. Dan ternyata cukup menyenangkan juga. Dapat menambah saudara baru dengan senyum polos menghiasi wajah mereka membuat hati teduh. Juga anak – anak kamar F wisma Khoiriyah ini menurut dan mendengar apa – apa yang aku katakan. Seperti mendapat adik – adik baru berjumlah 36 dalam satu waktu sekaligus, he.   
Tantangan pertama yang aku hadapi adalah menangani permasalahan seputar santri baru. Ada juga anak yang terlihat suka senyum ceria ternyata rentan sekali sakit hati. Sekalinya sakit hati sampai susah bernafas, kejang. Wah, wah ternyata perlu jadi ahli terapi juga buat menenangkan, he. Lalu ada lagi ank – anak SMP di kamar yang masih manja dan suka menangis (kebetulan kamarku campur antara 1 SMA/MA dan 1 SMP karena keterbatasan tempat), memposisikan diri sebagai Ibu sangat penting agar mereka merasa aman, terlindungi dan nyaman dalam belajar nantinya. Jadi aku pun juga harus berproses dari aku yang baru kemarin lulus Aliyah dan berjiwa muda (masih 19 tahun) berusaha menjadi pribadi yang terbaik untuk mereka. Dan sejak itu dunia dan pikiranku hanya seputar santri – santri pesantren khususnya anak – anak yang menjadi anak binaanku.
Secara garis besar hal – hal mendasar sudah bisa dihandle mereka sendiri  seperti cara membersihkan kamar mandi, mengepel, menata sprei, dsb. Juga organisasi kamar berjalan cukup baik dengan ketua kamar (di tahun pertama dijabat oleh Muyassarotul Qoimah ) yang membantu Pembina dalam mengkoordinir teman – temannya. Sebenarnya yang sangat berat adalah tugas kita menemani proses kedewasaan. Problematika sangatlah banyak. Terlebih di tahun ketiga mereka. Tak disangka mereka lihai sekali menyembunyikan hal – hal tak terduga. Inilah pelajaran bagiku yang sempat lengah mengawasi mereka secara terperinci satu per satu.
Tersebutlah santri bernama Naim (nama samaran) di kamarku. Seorang anak yatim dan putri satu – satunya dari Ibunya. Dari latar belakang seperti itu aku sering berhusnudzon padanya. Ketika kelas dua SMA dia sering dijemput oleh seseorang yang diakui sebagai Ibu angkatnya. Awalnya aku tak curiga karena ketika aku mengkonfirmasi ke Ibunya, beliau mengiyakan dan menambahkan bahwa ia adalah saudara jauh. Semua mulai terkuak ketika memasuki tahun ketiga saat ia meminta izin pulang ke rumah Ibu angkatnya tiga hari untuk periksa dan copot gigi. Namun hingga seminggu hampir berlalu Naim tak kunjung kembali ke pondok sementara menurut teman – teman sekolahnya Ia tetap masuk sekolah seperti biasa.
Walhasil aku sebagai Pembina sekaligus sebagai Koordinator Keamanan kala itu mengkonfirmasi ke sekolah. Bersama dengan Guru BP SMA, Bu Wening dan Pak Mustaqim kami membujuk Naim untuk kembali ke Pondok. Cukup alot dan berbelit – belit karena Naim bersikeras tak ingin kembali. Masih jelas sekali di ingatanku bagaimana Naim menangis meraung – raung di kantor SMA. Hingga kami putuskan untuk memanggil Ibu angkatnya ke sekolah saat itu juga.
Ibu angkat Naim memohon agar Naim diperkenankan kembali ke rumahnya dan berjanji akan mengantarnya kembali ke Pondok besok. Namun kami (Bu Wening, Pak Mustaqim, aku dan Iit - salah seorang Pembina di Pondok Putri juga) bersikeras Naim harus kembali hari ini juga karena kami menemukan ternyata alasan sakit gigi dari Naim mengada – mengada dan ditemukan sms yang mengindikasikan hubungan dengan lawan jenis di Handphonenya. Bu Wening sebagai alumni dari jurusan Psikolog berhasil mengorek keterangan dari Ibu angkat Naim yang ternyata sama tak memiliki hubungan darah apapun dengan Naim (salut buat Bu Wening). Dengan demikian Ibu ini kemudian tidak berhak menjadi wali Naim dan diharuskan menandatangani perjanjian untuk tidak bertemu dengan Naim lagi. Dan akhirnya Naim berhasil kami bawa pulang ke Pondok.
Sakit hati? Tak bisa ditampik lagi perasaan seperti itu. Anak binaan rasanya seperti anak sendiri karena posisi kami sebagai Ibu bagi mereka. Dan mendapati kebohongan seperti itu tentunya tak terperi rasanya. Di sisi lain Ibu kandung Naim ternyata selama ini cenderung menutupi kesalahan Naim, sungguh miris rasanya. Ada lagi kebohongan yang terungkap ketika aku berada di sekolah kemarin.
Sebelumnya, beberapa waktu sebelum kejadian ini Om Naim datang ke Pondok sebagai wali Naim untuk mendatangani Surat Pernyataan Terakhir sebab beberapa pelanggaran berat yang telah dilakukan Naim (sepertinya tak perlu aku ceritakan di sini bentuk pelanggarannya). Ia mengaku merupakan adik kandung dari Ibu Naim dan telah diberi tanggung jawab atas Naim selama di Jombang. Hari itu no HP dari Ibu Naim tak ada yang bisa dihubungi (no nya ganti – ganti), jadi aku belum  bisa jua mengecek kebenarannya bahkan sampai terlupa. Nah, ketika berbincang di kantor SMA dengan Bu Wening ternyata Omnya ini juga pernah bertandang ke Sekolah dengan pengakuan yang sama. Namun Bu Wening dengan jiwa Psikolognya merasakan hal yang tak wajar dengan Om Naim, demikian yang diceritakan Bu Wening padaku.
Dan benarlah kecurigaan Bu Wening terbukti sekitar 1 atau 2 bulan berikutnya. Om Naim datang kembali ke sekolah dan mengaku mereka berdua sebenarnya adalah tunangan yang nantinya akan segera menikah setelah Naim lulus sekolah. Ya Ampun,,, aku shock berat mengetahui ini. Gemetaran aku dibuatnya. Benar – benar tak menyangka, terima kasih pada Bu Wening yang membukakan mataku.
Dan selanjutnya lebih banyak hal – hal mengejutkan dan membuat hati miris yang baru aku ketahui tentang Naim. Tak habis – habis jika harus aku tulis seluruhnya di sini. Yang jelas aku berusaha mempertahankan Naim dengan memberi perhatian ekstra padanya. Mengingatkan jangan sampai ia salah langkah lagi. Namun ternyata Naim tak ingin dipertahankan, ia melanggar lagi peraturan yang fatal hingga akhirnya ia harus dikirim pulang sebelum sempat menyelesaikan studinya di bangku SMA.
Satu lagi pelajaran sebagai Pembina yang aku temukan di sini, yakni memperhatikan perubahan kecil yang terjadi pada anak asuhan sangatlah penting hingga hal – hal yang tidak diharapkan takkan lebih jauh terjadi. Yah, aku akui kesibukanku sebagai koordinator keamanaan di Pesantren serta tugas kuliah menumpuk melengahkanku. Dan ini juga pastinya menjadi suatu tantangan bagi Pembina karena jumlah anak kamar yang tak sedikit.
Masih banyak lagi kisah dan pengalamanku di Tebuireng. Terima kasih pada Tebuireng akan semua pelajaran kehidupan ini. Sebuah pelajaran yang akan menjadi mutiara dalam hidupku di masa depan. Terima kasih pula telah mempertemukan aku dengan sebuah keluarga yang baru di sini. Teruntuk anak – anak asuhanku, I will always loving you. ^_^

For anak – anak kamar C dan F Pondok Putri Pesantren Tebuireng angkatan 2010 - 2013
        dan anak - anak kamar D angkatan 2013 - 2014




[1] Sebuah lembaga pendidikan tinggi di bawah naungan Pondok Pesantren Tebuireng yang mengkaji kitab – kitab klasik dan kontemporer dengan bahasa arab sebagai bahasa pengantar. Layaknya kebanyakan perkuliahan lainnya, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari ditempuh dalam kurun waktu 4 tahun.

Tafsir Al Ibriz Al Baqarah ayat 199



{199} ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Baqarah : 199)
Then depart from the place from where [all] the people depart and ask forgiveness of Allah . Indeed, Allah is Forgiving and Merciful.
Tersebutlah kaum Quraisy dahulu adalah kaum yang sombong dan merasa hebat. Kala itu mereka tak mau berkumpul dengan manusia – manusia yang lain. Ketika orang – orang wukuf di Arofah, para Quraisy wukuf di Muzdalifah. Lalu turun ayat ini supaya kaum Quraisy mau berkumpul bersama manusia wukuf di padang Arofah dan memohon ampun kepada Allah.
            Di sini terdapat pula bagaimana cara berorganisasi dimana manusia tidaklah selayaknya meminta untuk diperlakukan terhormat. Contohnya, kubur ingin mendapatkan tempat khusus tersendiri. Sifat gumedhe (sombong) tidak diperbolehkan. Ada lagi, yang ini kebanyakan melanda wanita yang merasa ingin diistimewakan seperti halnya kaum Quraisy sehingga mempengaruhi sikapnya menjadi sok – sok an. Dalam keseharian santri di Ponpes Dawam dimisalkan menisbatkan diri sebagai satu – satunya anak kyai di sini, atau sebagai satu – satunya mahasiswa dari Universitas tersohor di Yogyakarta. Hal tersebut tidak diperbolehkan dan Allah telah mengingatkan dalam ayat ini.
Orang – orang seperti kaum Quraisy masih banyak hingga saat ini. Jika kamu termasuk orang – orang tersebut maka memohon ampunlah kepada Allah.. Saya tidak istimewa Derajat manusia di dunia sama yang membedakan hanya ketakwaan. Kala wudhu menangis kepada Allah meminta dibersihkan oleh Allah, setelah niat wudhu menyebut dalam hati “اللهم اجعلنا منك   ". itu namanya dilalah yang diberikan Allah, ketika kamu dihormati karena Allah menghendakinya bukan karena kamu sendiri yang ingin diistimewakan. Lalu diceritakanlah anak Pak Yai Sugeng Utomo yang masih berusia belia ( umur 5 tahun dan 7 tahun ) seringkali dimarahi ketika mempunyai rasa ingin dihormati. “Kowe iku sopo? Kok pingin dihormati” , demikian ujar beliau. Tunjukkan diri takwa kepada Allah, maka Allah yang akan mengatur kemulyaanmu. Allah yang memulyakan dengan memberi karomah padamu.
Wallahu A’lam bi showab.

Ponpes Darul Ulum wal Hikam ( Dawam ) Yogyakarta
23082014  
Nb : Pengajian di bawah asuhan Kyai Sugeng Utomo

Apabila terdapat kekurangan semata – mata murni dari penulis.

Tapak Kaki di Jogja

          Jogja dengan segala keeksotisan khasnya. Yang dahulu sempat membuatku terlena untuk sering bertandang ke kota ini, kini aku menjadi penghuninya. Sabtu sore 16 Agustus 2014, setelah berpamit dari Pondok Putri Pesantren Tebuireng aku langsung melesat menuju kota Gudeg bersama kedua orang tua tercinta dan seorang temen abah yang hendak menjenguk putranya. Masih terbayang peluk cium dan tangis dari anak – anak cukup memberatkan hati. Namun aku harus pergi untuk menemukan diriku, jiwaku, asaku. Pukul 2 dini hari tepat tanggal 17 Agustus 2014 dipandu oleh mas aik (putra teman abah) tibalah kami di Ponpes Darul Ulum wal Hikam. Pondok yang menurut Abah tepat untukku di bawah asuhan Kyai Muda Sugeng Utomo. 
         Mengusung pendidikan humanis dan tuntunan akan hidup santrinya begitulah kiranya gambaran yang aku tangkap, aku pun manut akan arahan orang tua.  Kami menunggu hingga hari cukup terang untung bertamu dengan Pak Kyai. Sejenak istirahat namun mata enggan terpejam, rasa di hati ini memang benar – benar tak karuan. Singkat kata akhirnya tibalah saatnya aku berpisah dengan keluargaku. Dengan pesan – pesan dan harapan pada putri satu – satunya ini. Kiranya aku hanya berusaha tegar, tangis sunyiku pecah kala aku tengah seorang diri di kamar.
Situasi dan kondisi tentu saja takkan sama antara tempat satu dengan yang lain, karena itulah jiwa tentu perlu adaptasi. Dalam saat transisi seperti ini terkadang menjadi penentu apakah kita akan melanjutkan tujuan atau justru berpindah lagi. Hal serupa terjadi pula padaku. Meski aku sudah mewanti – wanti diri untuk siap dengan segala hal nanti namun tak urung kegamangan menyerang hati. Untungnya pesan – pesan Pak Kyai ketika sowan tadi pagi cukup membantu untuk pegangan. 
Pertama, Ikhlaskan diri. segala hal dalam hidup ini harus dijalani dengan hati yang ikhlas bahkan dari hal-hal yang remeh sekalipun. Lebih lanjut Pak Kyai memberi contoh ringan yang benar – benar mengena, memegang keset dengan dua jari (pertanda jijik) mendapat amarah besar dari Bu Nyai. Keset harus digenggam selayaknya baru setelah itu cuci tangan bahkan dalam menggenggam keset seperti itupun juga perlu ikhlas. 
Kedua, Tawadhu. Jangan menyombongkan apa – apa yang telah kamu lalui selama ini. Jika memang kamu memiliki sebuah kemampuan, kamu akan bisa menunjukkannya tanpa banyak berultimatium. 
Ketiga, Jangan membanding –bandingkan dengan pondok sebelumnya. Yang satu ini cukup menohok hati, hehe. Pasalnya naluri manusia sebagai makhluk tak sempurna yang cenderung mencari kesempurnaan membuat ia suka membuat perbandingan – perbandingan demikian. Pak Kyai menyadari hal tersebut, beliau mengingatkan aku bahkan sebelum aku sempat berpikir ke arah itu.  
Keempat, Temukan dan kembangkan Skill-mu. Apa – apa yang kamu peroleh di bangku kuliah tidaklah cukup untuk membantu kehidupanmu di masa depan. Kamu harus mempunyai nilai plus tersendiri. Suatu nilai yang benar – benar kamu suka dan mampu untuk melakukannya. Jalan mengembangkan “ingin”mu itu banyak, namun kamu harus tahu apa yang benar – benar kamu “ingin”-kan dan pastikan kamu enjoy menjalaninya. 
Kelima, Pantaskan diri. Jika kamu sudah tahu apa “ingin”mu maka pantaskan dirimu untuk menjadi ahli di dalamnya. Jadikan ia bukan sekedar sampingan ecek –ecek, seriuslah dan jadilah professional. Sepertinya ini yang aku suka dari Pak Kyai, sebuah arahan dan wejangan yang telah lama tak aku dapat. Meski ada sebuah harga yang aku bayar untuk menjadi santrinya. Yaitu kembali ke kehidupan sederhana khas santri dengan segala keterbatasannya. Tak apa karena itu adalah bagian dari proses. Ayo semangat.  


Darul Ulum wal Hikam - Yogyakarta
18082014