Rss Feed

Tapak Kaki di Jogja

          Jogja dengan segala keeksotisan khasnya. Yang dahulu sempat membuatku terlena untuk sering bertandang ke kota ini, kini aku menjadi penghuninya. Sabtu sore 16 Agustus 2014, setelah berpamit dari Pondok Putri Pesantren Tebuireng aku langsung melesat menuju kota Gudeg bersama kedua orang tua tercinta dan seorang temen abah yang hendak menjenguk putranya. Masih terbayang peluk cium dan tangis dari anak – anak cukup memberatkan hati. Namun aku harus pergi untuk menemukan diriku, jiwaku, asaku. Pukul 2 dini hari tepat tanggal 17 Agustus 2014 dipandu oleh mas aik (putra teman abah) tibalah kami di Ponpes Darul Ulum wal Hikam. Pondok yang menurut Abah tepat untukku di bawah asuhan Kyai Muda Sugeng Utomo. 
         Mengusung pendidikan humanis dan tuntunan akan hidup santrinya begitulah kiranya gambaran yang aku tangkap, aku pun manut akan arahan orang tua.  Kami menunggu hingga hari cukup terang untung bertamu dengan Pak Kyai. Sejenak istirahat namun mata enggan terpejam, rasa di hati ini memang benar – benar tak karuan. Singkat kata akhirnya tibalah saatnya aku berpisah dengan keluargaku. Dengan pesan – pesan dan harapan pada putri satu – satunya ini. Kiranya aku hanya berusaha tegar, tangis sunyiku pecah kala aku tengah seorang diri di kamar.
Situasi dan kondisi tentu saja takkan sama antara tempat satu dengan yang lain, karena itulah jiwa tentu perlu adaptasi. Dalam saat transisi seperti ini terkadang menjadi penentu apakah kita akan melanjutkan tujuan atau justru berpindah lagi. Hal serupa terjadi pula padaku. Meski aku sudah mewanti – wanti diri untuk siap dengan segala hal nanti namun tak urung kegamangan menyerang hati. Untungnya pesan – pesan Pak Kyai ketika sowan tadi pagi cukup membantu untuk pegangan. 
Pertama, Ikhlaskan diri. segala hal dalam hidup ini harus dijalani dengan hati yang ikhlas bahkan dari hal-hal yang remeh sekalipun. Lebih lanjut Pak Kyai memberi contoh ringan yang benar – benar mengena, memegang keset dengan dua jari (pertanda jijik) mendapat amarah besar dari Bu Nyai. Keset harus digenggam selayaknya baru setelah itu cuci tangan bahkan dalam menggenggam keset seperti itupun juga perlu ikhlas. 
Kedua, Tawadhu. Jangan menyombongkan apa – apa yang telah kamu lalui selama ini. Jika memang kamu memiliki sebuah kemampuan, kamu akan bisa menunjukkannya tanpa banyak berultimatium. 
Ketiga, Jangan membanding –bandingkan dengan pondok sebelumnya. Yang satu ini cukup menohok hati, hehe. Pasalnya naluri manusia sebagai makhluk tak sempurna yang cenderung mencari kesempurnaan membuat ia suka membuat perbandingan – perbandingan demikian. Pak Kyai menyadari hal tersebut, beliau mengingatkan aku bahkan sebelum aku sempat berpikir ke arah itu.  
Keempat, Temukan dan kembangkan Skill-mu. Apa – apa yang kamu peroleh di bangku kuliah tidaklah cukup untuk membantu kehidupanmu di masa depan. Kamu harus mempunyai nilai plus tersendiri. Suatu nilai yang benar – benar kamu suka dan mampu untuk melakukannya. Jalan mengembangkan “ingin”mu itu banyak, namun kamu harus tahu apa yang benar – benar kamu “ingin”-kan dan pastikan kamu enjoy menjalaninya. 
Kelima, Pantaskan diri. Jika kamu sudah tahu apa “ingin”mu maka pantaskan dirimu untuk menjadi ahli di dalamnya. Jadikan ia bukan sekedar sampingan ecek –ecek, seriuslah dan jadilah professional. Sepertinya ini yang aku suka dari Pak Kyai, sebuah arahan dan wejangan yang telah lama tak aku dapat. Meski ada sebuah harga yang aku bayar untuk menjadi santrinya. Yaitu kembali ke kehidupan sederhana khas santri dengan segala keterbatasannya. Tak apa karena itu adalah bagian dari proses. Ayo semangat.  


Darul Ulum wal Hikam - Yogyakarta
18082014

0 komentar:

Posting Komentar