Rss Feed

Mutiara Tebuireng









Kehidupanku di Tebuireng?
Hmm sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang amat panjang. Berhubung ada yang request bolehlah aku ceritakan.
            Nah, semua bermula ketika aku mendapat permintaan untuk menjadi Pembina di Pondok Putri Pesantren Tebuireng. Kala itu ( jaman masih unyu – unyu diriku dan masih demikian hingga kini, he) aku berpikir selain aku akan bisa berproses menjadi manusia yang anfa’uhum linnas (bermanfaat bagi manusia lain), menjadi Pembina juga nantinya akan terhitung menjadi pengabdian sebagai syarat pengambilan ijazah Mahad Aly Hasyim Asy’ari[1].
Nah, sempat agak ruwet juga waktu itu karena tak ada pemberitahuan resmi dari Pondok Putri Pesantren Tebuireng tapi ternyata namaku sudah terpampang di salah satu kamar di sana sebagai Pembina. Pada waktu yang bersamaan aku sudah terlanjur bayar cash kursus Bahasa Inggris beserta Camp nya di Pare karena memang saat itu aku berencana mengisi libur kuliahku di sana. Sudah keadaan seperti itu barulah salah seorang dari pihak Pondok menginformasikannya padaku. Rempong dah pokoknya, lemahnya koordinasi ini sempat membuatku ragu namun setelah melalui berbagai proses serta dengan pertimbangan antara mashlahah dan madhorotnya akhirnya aku putuskan untuk memilih Tebuireng. Beruntung kursus dan camp bisa dibatalkan dan uang kembali seratus persen. Alhamdulillah.
Singkat kata jadilah tahun 2010 aku resmi tinggal Pondok Pesantren rintisan KH. Hasyim Asy’ari ini. Lalu sebuah babak kehidupan yang baru dimulai. Menjadi Pembina itu gampang – gampang susah. Kalau cuma sekedar mendengar pemaparan tugas pembina sepertinya biasa saja tapi ketika dijalani jauh lebih berat. Harus siap mental, istiqomah, dan menjadi uswatul hasanah bagi anak – anak asuh di kamar. Hal itu kalau dalam keadaan biasa. Kita juga harus siap menghadapi permasalahan seputar santri, wali santri, sekolah atau pihak – pihak lain terkait santri dan pesantren. Sungguh pelajaran yang luar biasa.
Panggilan yang disematkan untuk pembina memang Ustadzah namun pada hakikatnya perannya tak hanya sebatas guru, Ia juga menjadi Ibu, teman dan pengawas. Pertama dapat panggilan Ustadzah itu rasanya aneh. Karena selama ini tak pernah terbayang untuk berada di posisi tersebut. Apalagi sampai tanganku dicium oleh anak – anak di sini sebagai tanda hormat. Terbesit keinginan pun tidak. Karena belum terlalu mengerti harus bagaimana menjadi Pembina yang baik maka untuk tahap awal aku hanya menjalankan tugas pokoknya yaitu mengkoordinir jamaah dan ngaji sambil mengenal anak – anak kamar lebih dekat. Dan ternyata cukup menyenangkan juga. Dapat menambah saudara baru dengan senyum polos menghiasi wajah mereka membuat hati teduh. Juga anak – anak kamar F wisma Khoiriyah ini menurut dan mendengar apa – apa yang aku katakan. Seperti mendapat adik – adik baru berjumlah 36 dalam satu waktu sekaligus, he.   
Tantangan pertama yang aku hadapi adalah menangani permasalahan seputar santri baru. Ada juga anak yang terlihat suka senyum ceria ternyata rentan sekali sakit hati. Sekalinya sakit hati sampai susah bernafas, kejang. Wah, wah ternyata perlu jadi ahli terapi juga buat menenangkan, he. Lalu ada lagi ank – anak SMP di kamar yang masih manja dan suka menangis (kebetulan kamarku campur antara 1 SMA/MA dan 1 SMP karena keterbatasan tempat), memposisikan diri sebagai Ibu sangat penting agar mereka merasa aman, terlindungi dan nyaman dalam belajar nantinya. Jadi aku pun juga harus berproses dari aku yang baru kemarin lulus Aliyah dan berjiwa muda (masih 19 tahun) berusaha menjadi pribadi yang terbaik untuk mereka. Dan sejak itu dunia dan pikiranku hanya seputar santri – santri pesantren khususnya anak – anak yang menjadi anak binaanku.
Secara garis besar hal – hal mendasar sudah bisa dihandle mereka sendiri  seperti cara membersihkan kamar mandi, mengepel, menata sprei, dsb. Juga organisasi kamar berjalan cukup baik dengan ketua kamar (di tahun pertama dijabat oleh Muyassarotul Qoimah ) yang membantu Pembina dalam mengkoordinir teman – temannya. Sebenarnya yang sangat berat adalah tugas kita menemani proses kedewasaan. Problematika sangatlah banyak. Terlebih di tahun ketiga mereka. Tak disangka mereka lihai sekali menyembunyikan hal – hal tak terduga. Inilah pelajaran bagiku yang sempat lengah mengawasi mereka secara terperinci satu per satu.
Tersebutlah santri bernama Naim (nama samaran) di kamarku. Seorang anak yatim dan putri satu – satunya dari Ibunya. Dari latar belakang seperti itu aku sering berhusnudzon padanya. Ketika kelas dua SMA dia sering dijemput oleh seseorang yang diakui sebagai Ibu angkatnya. Awalnya aku tak curiga karena ketika aku mengkonfirmasi ke Ibunya, beliau mengiyakan dan menambahkan bahwa ia adalah saudara jauh. Semua mulai terkuak ketika memasuki tahun ketiga saat ia meminta izin pulang ke rumah Ibu angkatnya tiga hari untuk periksa dan copot gigi. Namun hingga seminggu hampir berlalu Naim tak kunjung kembali ke pondok sementara menurut teman – teman sekolahnya Ia tetap masuk sekolah seperti biasa.
Walhasil aku sebagai Pembina sekaligus sebagai Koordinator Keamanan kala itu mengkonfirmasi ke sekolah. Bersama dengan Guru BP SMA, Bu Wening dan Pak Mustaqim kami membujuk Naim untuk kembali ke Pondok. Cukup alot dan berbelit – belit karena Naim bersikeras tak ingin kembali. Masih jelas sekali di ingatanku bagaimana Naim menangis meraung – raung di kantor SMA. Hingga kami putuskan untuk memanggil Ibu angkatnya ke sekolah saat itu juga.
Ibu angkat Naim memohon agar Naim diperkenankan kembali ke rumahnya dan berjanji akan mengantarnya kembali ke Pondok besok. Namun kami (Bu Wening, Pak Mustaqim, aku dan Iit - salah seorang Pembina di Pondok Putri juga) bersikeras Naim harus kembali hari ini juga karena kami menemukan ternyata alasan sakit gigi dari Naim mengada – mengada dan ditemukan sms yang mengindikasikan hubungan dengan lawan jenis di Handphonenya. Bu Wening sebagai alumni dari jurusan Psikolog berhasil mengorek keterangan dari Ibu angkat Naim yang ternyata sama tak memiliki hubungan darah apapun dengan Naim (salut buat Bu Wening). Dengan demikian Ibu ini kemudian tidak berhak menjadi wali Naim dan diharuskan menandatangani perjanjian untuk tidak bertemu dengan Naim lagi. Dan akhirnya Naim berhasil kami bawa pulang ke Pondok.
Sakit hati? Tak bisa ditampik lagi perasaan seperti itu. Anak binaan rasanya seperti anak sendiri karena posisi kami sebagai Ibu bagi mereka. Dan mendapati kebohongan seperti itu tentunya tak terperi rasanya. Di sisi lain Ibu kandung Naim ternyata selama ini cenderung menutupi kesalahan Naim, sungguh miris rasanya. Ada lagi kebohongan yang terungkap ketika aku berada di sekolah kemarin.
Sebelumnya, beberapa waktu sebelum kejadian ini Om Naim datang ke Pondok sebagai wali Naim untuk mendatangani Surat Pernyataan Terakhir sebab beberapa pelanggaran berat yang telah dilakukan Naim (sepertinya tak perlu aku ceritakan di sini bentuk pelanggarannya). Ia mengaku merupakan adik kandung dari Ibu Naim dan telah diberi tanggung jawab atas Naim selama di Jombang. Hari itu no HP dari Ibu Naim tak ada yang bisa dihubungi (no nya ganti – ganti), jadi aku belum  bisa jua mengecek kebenarannya bahkan sampai terlupa. Nah, ketika berbincang di kantor SMA dengan Bu Wening ternyata Omnya ini juga pernah bertandang ke Sekolah dengan pengakuan yang sama. Namun Bu Wening dengan jiwa Psikolognya merasakan hal yang tak wajar dengan Om Naim, demikian yang diceritakan Bu Wening padaku.
Dan benarlah kecurigaan Bu Wening terbukti sekitar 1 atau 2 bulan berikutnya. Om Naim datang kembali ke sekolah dan mengaku mereka berdua sebenarnya adalah tunangan yang nantinya akan segera menikah setelah Naim lulus sekolah. Ya Ampun,,, aku shock berat mengetahui ini. Gemetaran aku dibuatnya. Benar – benar tak menyangka, terima kasih pada Bu Wening yang membukakan mataku.
Dan selanjutnya lebih banyak hal – hal mengejutkan dan membuat hati miris yang baru aku ketahui tentang Naim. Tak habis – habis jika harus aku tulis seluruhnya di sini. Yang jelas aku berusaha mempertahankan Naim dengan memberi perhatian ekstra padanya. Mengingatkan jangan sampai ia salah langkah lagi. Namun ternyata Naim tak ingin dipertahankan, ia melanggar lagi peraturan yang fatal hingga akhirnya ia harus dikirim pulang sebelum sempat menyelesaikan studinya di bangku SMA.
Satu lagi pelajaran sebagai Pembina yang aku temukan di sini, yakni memperhatikan perubahan kecil yang terjadi pada anak asuhan sangatlah penting hingga hal – hal yang tidak diharapkan takkan lebih jauh terjadi. Yah, aku akui kesibukanku sebagai koordinator keamanaan di Pesantren serta tugas kuliah menumpuk melengahkanku. Dan ini juga pastinya menjadi suatu tantangan bagi Pembina karena jumlah anak kamar yang tak sedikit.
Masih banyak lagi kisah dan pengalamanku di Tebuireng. Terima kasih pada Tebuireng akan semua pelajaran kehidupan ini. Sebuah pelajaran yang akan menjadi mutiara dalam hidupku di masa depan. Terima kasih pula telah mempertemukan aku dengan sebuah keluarga yang baru di sini. Teruntuk anak – anak asuhanku, I will always loving you. ^_^

For anak – anak kamar C dan F Pondok Putri Pesantren Tebuireng angkatan 2010 - 2013
        dan anak - anak kamar D angkatan 2013 - 2014




[1] Sebuah lembaga pendidikan tinggi di bawah naungan Pondok Pesantren Tebuireng yang mengkaji kitab – kitab klasik dan kontemporer dengan bahasa arab sebagai bahasa pengantar. Layaknya kebanyakan perkuliahan lainnya, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari ditempuh dalam kurun waktu 4 tahun.

0 komentar:

Posting Komentar