Gerimis ini tak kunjung
reda. Aku menantimu di sini. Payung biru muncul dari ujung jalan. Kamu
tersenyum dalam tatapan nanar.
“Apa yang terjadi
sayang?”, Tanyaku pada adikku yang bukan anak kecil lagi. Ia hanya menggeleng.
“Ayo pulang mbak ”, ujarnya.
Aku menurut mengikuti tarikan tangannya.
Hmmmmm hujan... aku menarik nafas dalam
– dalam. Aku selalu suka aroma ini. Masih dalam aroma ini aku bertemu dengan
Dani untuk pertama kalinya. Siapakah Dani? Ia adalah lelaki gagah yang
mengikrarkan untuk merajut kehidupan bersamaku hingga akhir hayat. Lelaki yang
memberikan calon buah hati dalam kandunganku meski ia akhirnya gugur sebelum
sempat melihat dunia. Aku sempat syok dan sangat terluka. Telah lama kuimpikan
jari – jari mungil menggenggam tanganku. Sosok kemerahan yang akan selalu
merindukan dekapanku. Tangisku pecah setiap waktu, dan Dani selalu datang
memeluk dan mencium keningku dalam – dalam. “Tak apa... “, ujarnya membelai
rambutku. Begitu berjalanlah beberapa waktu lamanya. Desahan nafasnya selalu
menenangkanku setiap malam. Senyum tulusnya ketika aku membuka mata dari tidurku
membahagiakanku. Aku pun berangsur kembali pada diriku sendiri. Aku merasa
selalu kuat bersamanya.
Kami memasuki sebuah
gang kecil. Seperti biasa, aku tak pernah ingin berjalan tergesa dalam hujan
ini. Tak peduli jika nanti aku basah kuyup atau bahkan sakit, aku selalu
menikmatinya. Harun adikku pun maklum akan kesenangan kecilku ini. Ia lebih
banyak diam sekarang, apa sekarang ia telah mulai berpikir akan memulai
membangun kehidupan rumah tangga seperti kakaknya? Kami dilahirkan sebagai dua
bersaudara. Tak ada yang tak kami ketahui satu sama lain. Kami sering bermain
bersama, tak jarang pula kami bertengkar adu mulut. Ia suka meledek tentang hal
– hal yang aku sukai. Mulai dari pita kecil warna pink yang sering aku pakai,
acara TV, cemilan dan hujan. Hal terakhir ini memang baru aku sukai menginjak
usiaku dua puluh. Harun adik paling usil sedunia, namun aku tahu ia sangat
menyayangiku. Satu lagi yang membuatku semakin menyukai hujan akhir – akhir ini
adalah hujan mampu menghentikan bisikan dan gunjingan orang – orang karena
mereka sibuk satu sama lain menghangatkan diri. Sementara aku merasa lebih
bebas berkeliaran di kala hujan. Aku tak mengerti apa yang mereka bisik –
bisikkan ketika aku lewat di hadapan mereka. Padahal aku selalu berpenampilan
rapi dan sopan setiap keluar rumah. Kata Dani hal ini merupakan salah satu
bentuk menjaga kehormatan suami. Aku beberapa kali bercermin untuk memastikan
tak ada yang aneh dengan diriku. Namun suara bisik – bisik tetangga serta
tatapan aneh mereka tak kunjung berhenti, malah semakin banyak orang yang
berbisik. Aku tak mengerti. Sering aku bertanya pada Ibu atau adikku yang
selalu mengantarkan aku keluar rumah ketika Dani tak ada, namun jawab mereka
hanya senyum lemah bahkan terkadang aku melihat gundukan air muncul di sudut
mata orang – orang yang aku sayangi ini. Ah.. kenapa dengan orang – orang?
Dani masih belum
kunjung pulang. Aku akan menjadi istri yang terbaik untukmu Dani. Aku akan
selalu setia menantimu. Kamu tak lupa oleh – oleh yang aku pesan tempo hari
melalui telpon bukan? Kali ini tak seperti biasanya kau harus pergi jauh ke
bali. Konferensi Jurnalis tingkat jawa
bali katamu. Aku tak terlalu mengerti duniamu yang satu itu. Aku hanya
mengemasi barang – barangmu dan menyelipkan pigura foto kita dalam koper. Aku merasa
berat sekali melepasmu hari itu. Dan kau kembali menenangkanku. “Tak apa
Lis..”, senyummu mengembangkan senyum
tipisku. Meski hatiku tak karuan akhirnya aku pun melepas kepergianmu.
Dani, aku benar – benar
rindu. Memang benar kata orang, ketika dua hati terpaut berpisah satu
menit pun terasa setahun. Terasa begitu
lama kau pergi, namun aku masih setia menunggumu dani. Aku semakin rajin
memasak di dapur. Aku ingin menciptakan masakan baru untukmu. Aku suka senyum –
senyum sendiri membayangkan wajah
cerahmu ketika mencicipi masakanmu. “Lisa, kamu adalah koki terbaik di dunia.”,
begitu sanjungmu di awal pernikahan kita. Kali ini kau pergi agak lama Dani.
Setelah dari Bali kau harus mengurusi bisnis besi tua ke Lombok. Kau baik –
baik saja kan Dani? Aku tahu kau pun merindukanku. Aku juga senang ke salon
merawat diriku untukmu. Rajin menggosokkan lulur ketika mandi, juga mengoles
krim – krim ke wajahku. Kamu pasti akan terkaget – kaget melihat bidadarimu ini
semakin tampil mempesona.
Oh ya, ada satu lagi
kegiatan baruku. Setiap seminggu sekali aku pergi ke dokter Amin. Aku tak
mengerti mengapa aku harus rutin kesana. Kata Ibu, ia adalah saudara jauh kami.
Dan Ibu ingin hubungan persaudaraan kami tak putus begitu saja. Awalnya aku
merasa aneh jika harus berkunjung setiap minggu. Tapi Ibu dan Harun tak
hentinya mendesakku. Akhirnya tak ada pilihan lain bagiku selain menuruti
kemauan mereka. Dokter Amin sangat ramah, seolah ia memiliki persediaan senyum
yang sangat banyak hingga bebas terkembang dalam bibir tipisnya. Kami hanya
mengobrol, bercerita dan bercanda tawa. Aku merasa nyaman bercerita banyak hal
dengannya. Mungkin benar kata Ibu, kami memang saudara dan menjaga hubungan
persaudaraan terasa sangat menyenangkan.
Gerimis ini berubah
menjadi hujan. Dan Oh.. kami sudah hampir sampai rumah. Aku berlari menembus
hujan, menikmati setiap tetes di tubuhku. “Mbak, ayo cepat masuk rumah”, ujar
adikku. Aku menyeringai dengan senyum
lebarku. Aku menggandeng tangan adikku dan mengajaknya ikut berlari bersama
tetes hujan.
“Lisa, tiap hari kok main hujan – hujanan
terus,
ayo cepat mandi. Air
panasnya sudah siap “, Ibu seperti tak pernah bosan mengatakan hal itu setiap
hujan turun.
“Iya ma..”, sahutku
segera menyambar handuk ke kamar mandi. Aku lihat sepintas wajah Harun dan Ibu
bercakap lirih. Wajah – wajah sendu yang sering muncul dalam raut wajah mereka.
Kenapa dengan orang – orang? Aku masuk kamar mandi segera menghilangkan rasa
dingin yang mulai merayap.
****
Di Ruang tamu rumah Harun dan Ibu duduk
berhadapan.
“Ibu...”, kata Harun
lirih.
“sampai kapan mbak Lisa
akan terus seperti ini?
kini sudah setahun
sejak kematian mas Dani..”, Harun tertunduk dalam.
“Kita sudah berupaya
sekuat tenaga nak..
Tak pernah ada yang
menyangka Dani mengalami kecelakaan kapal dalam perjalanannya ke Lombok. Tuhan
menghendaki Dani harus pergi meninggalkan dunia ini sebelum genap setahun
pernikahan Lisa.
Dokter Amin sebagai
psikiater adalah jalan satu – satunya selain rumah sakit jiwa.”, suara Ibu
hampir tak tenggelam dalam suara hujan.
“Harun tak tega Bu...
Harun tak kuasa mendengar gunjingan para tetangga,
ingin rasanya Harun bungkam mulut mereka semua yang tak tahu sopan santun.
Kasian mbak Lisa....
Apa memang harus begini
perjalanan hidup mbak Lisa.... “, Harun tergugu. Ibu mengusap kepala Harun
dengan air mata meleleh di pipinya.
Selanjutnya hanya ada
suara deras hujan yang membahana ke seantero rumah.
0 komentar:
Posting Komentar