Oleh : Shofiyana
Nadia Fairuz*
Kualitas
pendidikan suatu negara ditunjukkan dari kualitas tenaga pendidik. Begitupun
dengan regenerasi yang disiapkan untuk menyongsong pendidikan di masa akan datang. Dari aspek
ini kaum muda dipandang investasi berharga dalam suatu Negeri. Secara teori,
Negara dengan jumlah prosentase penduduk berpendidikan besar akan memberikan
prospek yang cerah bagi Negara tersebut.
Mahasiswa
sebagai kaum intelektual dan kritikus sosial sedikit memberi cerminan akan masa
depan Indonesia. Meningkatnya kesadaran “berpendidikan” dari berbagai kalangan
masyarakat menimbulkan corak baru khususnya bagi masyarakat Indonesia.
Sayangnya kesadaran positif ini tak berimbang dengan kondisi praktisi
mahasiswa. Dalam prosesnya mematangkan keilmuan banyak ditemukan berbagai
kejanggalan yang rupa – rupanya telah menjadi rahasia umum. Perkembangan teknologi
yang berkembang ternyata memberikan dampak yang kompleks bagi masyarakat
Indonesia khususnya di kalangan mahasiswa.
Tampaknya dari
sini kaum ini menemukan jalan pintas yang terbuka luas tanpa batas melalui
teknologi paling mutahir di abad 21 ini, Intenet. Segala tugas yang dibebankan
mulai dari makalah, tugas akhir semester, ujian – ujian, bahkan karya tulis
ilmiah yang akan mengantarkan mereka menuju pintu akhir gelar sarjana, skripsi
diselesaikan dengan beberapa kali klik. Sungguh ironis memang, plagiarisme
menjadi sangat lumrah dan menjamur dimana - mana tanpa mengenal musim.
Mengapa hal ini
bisa terjadi? Manusia hari ini adalah hasil dari pembentukan diri di masa lalu.
Jika kita sedikit menengok ke belakang, “kaum terdidik” kita secara tak langsung
mendapat pembenaran akan perilaku mereka saat ini. Bagaimana tidak, sekian
tahun para pendidik mendoktrinkan sifat kejujuran dalam proses pembelajaran,
namun ujian akhir nasional pendidik membenarkan perilaku menyimpang jauh dari
nilai – nilai tersebut. Maka berlanjutlah perilaku amoral yang demikian, mulai
dari jual beli soal, ijazah hingga lahirnya “ghost writer” dalam dunia
pendidikan. Ghost writer ini bertindak sebagai pelaku di balik layar
bagi mereka yang ingin mendapatkan nilai A dalam perkuliahan tanpa perlu
bersusah payah.
Dampak dari
lingkungan pun tak ketinggalan turut menjadi penyebab munculnya corak warna
hitam dalam pendidikan. Sudah tak asing lagi di telinga pungutan liar yang
dilakukan polisi lalu lintas, hal prosedural seperti pembuatan SIM dan KTP bisa
diperoleh dalam waktu singkat dengan
membayar uang lebih. Generasi muda kita telah terbiasa dengan hal – hal kotor
dimanapun. Sementara pendidikan moral yang diberikan tidak berimbang. Sehingga perilaku
menyimpang demikian dipandang sebagai suatu kewajaran.
Di samping itu
kurangnya kontrol dari instansi pendidikan terkait menjadi pemicu munculnya
generasi intelektual tak beneh (istilah benar dalam bahasa jawa timur).
Dalam tingkta perkuliahan, peserta didik dianggap memiliki kontrol diri yang
cukup melihat dari faktor usia yang telah mencapai kategori dewasa. Karena
asumsi dewasa inilah yang menjadikan para mahasiswa merasa bebas melakukan
banyak hal terlebih ketika berkurangnya tingkat ketelitian dan pengawasan dosen
sebab kesibukannya. Maka hal yang menjadi acuan sebagian besar mahasiswa malas
adalah “yang penting bayar lunas dan tugas terkumpul takkan ada masalah”.
Maka dari inilah
lahir sarjana – sarjana muda sebagai kaum intelektual yang bahkan tak mengerti
dengan studi yang digelutinya. Para generasi muda dengan berbagai titel bergengsi
yang disandang bukannya memajukan Indonesia namun justru menjadikan Indonesia
semakin statis berjalan di tempat. Memang sebagian mahasiswa tetap berjuang
dengan eksistensi mereka sebagai “pelajar sejati” dengan menghindari hal – hal
menyimpang tersebut. Namun jumlah komunitas mereka dirasa semakin kecil dan
terhimpit oleh kotoran hitam dunia pendidikan.
Alhasil usaha
keras pelajar sejati ini akhirnya tertutupi oleh para pelaku kotor pendidikan
hingga sulit dibedakan antara keduanya. Di tengah himpitan tersebut penimba
ilmu sejati akhirnya terpecah lagi menjadi dua. Sebagian tetap kukuh akan jalan
lurus yang di tempuh, sementara sebagian yang lain akhirnya turut serta
bergabung dalam dunia kotor pendidikan sebagai ghost writer.
Penyimpangan mahasiswa diakui melahirkan profesi yang cukup menjanjikan pundi –
pundi emas tak kalah banyak dengan PNS sekalipun.
Lalu timbul
pertanyaan, apa solusi dari tindakan penyimpangan ini? Pemerintah Indonesia
bukannya menutup mata akan pencurian pemikiran tersebut. Seperti ditetapkannya
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI no. 17 Tahun 2010 sebagai lanjutan
dari UU Hak Cipta No.19 Tahun 2002. Di antara beberapa tindakan pencegahan yang
dicanangkan yaitu dengan melampirkan surat kesaksian tertulis dari dosen
bidangnya dalam setiap karya ilmiah, penertiban jurnal ilmiah secara
administratif, mengadakan sosialisasi rutin terkait plagiarisme. Meski demikian
plagiarisme tidak akan serta merta menghilang begitu saja, diperlukan
konstektualisasi pendidikan moral dan kontrol bersama dari berbagai lapisan
masyarakat demi menggugah kesadaran generasi muda dan mendorong ide – ide
brilian anak bangsa.
*) Penulis adalah Mahasiswi Mahad Aly Hasyim
Asy’ari Tebuireng Jombang
0 komentar:
Posting Komentar