Aku mantapkan langkah kaki menuju makam mbah Hasyim
Asy’ari. Sang Hadratus Syaikh yang karismatiknya tidak pernah diragukan
semasa hidupnya. Makam yang terletak di dalam kompleks Pondok Putra Pesantren
Tebuireng. Dan yang kujumpai adalah peziarah yang berjibun banyaknya silih
berganti memenuhi bangunan dua tingkat yang memang disediakan khusus untuk para
peziarah dari berbagai penjuru nusantara. Memang pasca dimakamkannya mantan
presiden ke 4 Indonesia KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab di panggil
Gus Dur disini membuat jumlah peziarah di tempat ini meningkat amat pesat
terutama di akhir pekan. Agaknya aku
lupa hari ini adalah hari minggu, tapi aku sudah terlanjur ingin mencari
ketenangan hati. Dalam tatih sunyi hati di antara keramaian aku melangkah
menaiki tangga. Sengaja aku memilih tempat agak ujung di lantai dua agar tempat
dudukku tidak terusik oleh keramaian. Hatiku tak menentu. Aku hanya ingin
mengadu kepadaNYA.
Tuhan,
apalah semua ini
Apalah
segala hal yang ada di dunia ini
Dan
apalah diriku ini
Aku
harus bagaimana
Dalam pusaran kekalutan dan
kebimbangan ini aku ingin menangis. Benar – benar tangis dengan ribuan bahkan
jutaan air mata namun yang ada hanyalah tangisan dalam hati, jeritan dalam
sunyi, sendu yang ingin bersembunyi. Ya Rabb tolong aku.
@@@@
Aku tidak mendapatkan ketenangan disini. Yang aku dapati
adalah rasa kantuk yang semakin menggelayuti kelopak mataku setiap aku membaca
lembar demi lembar Al-Qur’an. Dan ketika telah rampung 1 juz, aku kembali
berpikir antara melanjutkannya atau tidak. Aku jadi ingat kata – kata Isniar
yang aku temui sesaat sebelum aku berada di makam ini.
“ Ustadzah selalu sendirian ya.... “
Aku hanya menjawabnya dengan senyum. Kalau dahulu aku merasa
cukup meski hanya memiliki Allah dalam hatiku. Namun kini apa yang aku miliki?
Setelah aku sempat memprotes, meragukan bahkan tak ingin percaya apapun. Kini
aku benar – benar ringkih. Mati aku tak berani, hidup pun penuh kegamangan.
Rasa kantuk ini benar – benar ingin menaklukkanku. Dengan
bantuan angin yang semilir ia berusaha merobohkanku. Suara – suara pun
besahutan dalam benakku,
“ Ayo, ayo pulang saja
Apa yang kau dapat di sini
Ketenangan pun tidak
Terus mengaji pun akan menambah kantuk
Mendingan pulang saja....”
Suara – suara itu tak ada hentinya berulang seperti pemutar
kaset yang sudah rusak. Tak lama
berselang Adzan Dzuhur dari speaker
masjid Pondok Putra Pesantren Tebuireng pun berkumandang seolah menjadi penguat
ajakan suara yang entah darimana berasal. Aku pejamkan mata sejenak mencoba
menghayati lantunan adzan ini sambil berharap aku takkan ketiduran di sini di
tengah hiruk pikuk manusia yang datang silih berganti.
Dan inilah aku, gadis yang duduk seorang diri di sudut lantai
dua tempat peziarah. Yang tak sibuk dengan tahlil, dzikir ataupun bacaan Quran.
Hanya seorang gadis dengan pandangan menerawang kosong ditemani dengan buku
diary beserta pulpen di sampingnya. Sibuk dengan pertanyaan apa, siapa, dan
mengapa yang tak pernah tuntas terjawab. Mencoba menguak yang tak pernah
terungkap oleh hati. Ditemani juga oleh lebah yang tak kunjung pergi meski
berkali – kali aku usir, namun ia tak menyengat. Mungkin memang Allah
mengirimkannya untuk menemaniku. Pikiranku tak tentu arah. Semua akhirnya
berujung pada sebuah pertanyaan,
BAGAIMANA.
Tuhan, aku harus bagaimana?
Aku jadi ingat kata – kata Abah,
“ Jangan kebanyakan “piye “ ( bagaimana ) dalam menjalani
hidup
Buang kata itu
Karna itu hanya akan melemahkan iman
Kita masih memiliki Allah
Kenapa mesti bingung – bingung ... ? “
Ahh... memang Abah benar, tapi aku memang masih belum bisa
menemukan langkahku. Lantunan dzikir di tempat ini masih terus menggema.
Astaghfirullahal ‘adzim
Astaghfirullahal ‘adzim
Astaghfirullahal ‘adzim
Shollallah ala Muhammad
Shollallah ala Muhammad
Shollallah ala Muhammad
Laa ilaha illallah hayyul maujud
Laa ilaha illallah hayyul ma’bud
Laa ilaha illallah hayyul baaq
Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah,
Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah,
Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah,
Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah,
Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah,
Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah.
Tanpa sadar hatiku ikut berdzikir. Dan aku pun mengamini doa
rombongan peziaroh tak jauh dari tempatku duduk.
“Membaca al fatikhah,
Ketika sampai pada ayat Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in
Baca 11 kali seraya mengucapkan hajatnya dalam hati”,
Begitu ujar pemimpin rombongan ziaroh tersebut. Aku tak urung
ikut berdoa dalam hati. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya
kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Aku mantapkan hal itu dalam hatiku.
Ya Robb..
Segala makhluk mengharapkanMU
Semua ciptaanMU memohon pertolonganMU
Meminta perlindunganMU
Aku putuskan untuk membaca Al Quran sejenak sebelum kakiku
benar – benar melangkah pergi dari sini.
@@@@
To be continue. . . .
Tebuireng, 10052013
Nadine_Husein
0 komentar:
Posting Komentar